Kamis, 10 April 2014

Cerita dari Facebook

[Ribet Pakaian]
29 Maret 2014

BAHWASANYA Anda pernah satu-dua kali dibuat ribet soal pakaian, itu semata karena Anda cowok. Beda kalau Anda cewek, maka ribet itu wajib hukumnya dan sepertinya tiada hal yang tidak bisa diribetkan oleh kaum hawa. Maka kalau ada cewek yang saban hari ngributin soal busana, saya maklum-maklum saja.

Saya sendiri meribetkan busana terbatas dan saya batasi pada dua hal.

SATU

Ukuran baju dan celanaku nanggung. Kalau beli baju dan celana ukuran kecil, akan kekecilan dan terlihat so sexy. Sedang kalau ukuran satu strip di atasnya, akan terlihat kedodoran dan jauh dari kategori rapi.

Satu-satunya jenis pakaian yang pasti cocok ukurannya adalah sarung. Sejauh ini saya tidak pernah merasa kekecilan atau kedodoran kala mengenakan busana ala kang santri ini. Apa sebaiknya makai kain sarung saja kemana-mana, termasuk saat kerja, biar pas di badan. Asik kali ya.

Tapi gak perlu kawatir, kalau ada yang mau ngasih kado atau bingkisan baju dan celana, ukuran berapapun akan kuterima dengan senang hati. Saya sudah punya penjahit langganan yang siap mengset ulang ukurannya.

DUA

Lengan baju. Seiring dengan kian gerahnya kondisi planet bumi, saya terbiasa mengenakan baju hem lengan pendek saat kerja (aturan pakaiannya memang begitu) maupun waktu kegiatan lainnya. Rasa panas berkurang, berganti rasa isis dan semriwing. Keringat yang keluarpun jadi lebih cepat kering, tidak sempat melewati proses pembaceman. Wal hasil bau tubuh tetap segar sepanjang jaman.

Nah tanpa kusadari, saat ini koleksi bajuku mayoritas berlengan buntung.

Pernah dapat jatah kain seragam dari madrasah. Penjahitnya sudah ditunjuk, tinggal ukur-ukur saja. Kain dipotong dan dijahit. Jadi deh! PSH kain tebal warna abu-abu tua, berlengan panjang.

Begitu dicoba di rumah, langsung dikomen ibune Ghulam.

"Kok..jadinya mirip pak penghulu ya...".

Tuh kan.
Besoknya lengan kupotong pendek, kusulam tangan.

"Kebakar saat disetrika, terus kupotong sekalian jadi pendek", alasanku setiap ada yang tanya mengapa.

Praktis hem lengan panjangku tinggal dua potong. Tiap kali kupakai, dan itu amat-amat jarang, si bungsu akan tanya,

"Pah, mau kenduri kemana?".
"Whatzzz...!", hiyaaa...

Dan aku baru saja dapat lagi selembar kain seragam guru dari madrasah. Petunjuk modelnya lengan panjang. Hmm... alasan kebakaran saat setrika sudah basi, out of date. Musti cari alibi yang lebih cerdas.



[Kelud 1990]
15 Maret 2014

DIANTARA pelajaran rumpun IPA yaitu Biologi, Fisika, Matematika dan Kimia, maka saya dan kebanyakan teman-teman sekelasku saat itu, paling suka matematika. Latihan soalnya bagai candu, bikin merem-melek ketagihan.

Memang benar saya belum pernah survey tentang hal ini. LSI dan makhluk sejenisnya juga belum terkenal seperti sekarang. Belum lahir bahkan. Belum diperlukan. Hasil pemilu kala itu sudah pasti, tidak perlu disurvey! Saya juga tidak melakukan survey tentang elektabilitas pelajaran matematika di kalangan siswa SMA. Tapi secara kasat mata sudah terasa, matematika lebih disuka.

Seringkali waktu ulangan harian matematika, satu kelas nilainya jos konyos-koyos. Delapan puluh, sembilan puluh, bahkan seratus bulat ! Tentu saja ada satu dua temanku yang masih kurang mahir mengolah angka bermain logika, tapi tetap saja nilainya cetar membahana. Tergantung posisi duduk juga sih..hihi...

Ingatanku kembali ke tahun 1990, saat saya duduk di kelas 2 SMA. Saat itu kelasku dimasuki mahasiswi Matematika IKIP Surabaya (sekarang Unesa) untuk magang / PPL. Nama inisialnya D**h asal Jombangan Tertek Pare.

Jangan ada yang tanya, antara D**h dengan Ma*tini lebih impressive mana. Beda bro ! Both of them are impressive in different shape. Lagian tidak ada satupun wanita di planet bumi dan sekitarnya yang sudi dibanding-bandingkan. Lain halnya laki-laki. Laki-laki mah cuek. Saya tidak akan keberatan dibandingkan dengan Nicolas Saputra misalnya, atau Ahok sekalipun.

Si mahasiswi satu ini untuk sekian waktu akan menggantikan posisi Bu Lady guru matematikaku. Secara saya tidak ada masalah sepanjang pengganti Bu Lady adalah wanita, bukan pria. Serius ! Nilai matematikaku di kelas 1 pernah sekarat ketika diajar Pak Eko. Dan Pak Eko itu pria !

Nah saat ini, sekarang ini, saya jadi sadar dan tahu diri, tidak mau diserahi mengajar matematika di madrasah aliyah, karena saya pria ! Saya bilang ke kepala madrasah, jam ngajar matematikanya kasihkan saja ke guru lain, yang cewek, kalau HR nya tidak apa-apa dikasihkan ke saya!

Si mahasiswi orangnya pinter, tentu saja ! Senyumnya manis, yaeya lah ! Tutur bahasanya mempesona, whussss ! Emm....sudah punya pacar belum ya ... , ga penting bro ! Hihihi.... Pokoknya nanti pas mau perpisahan saya harus ngasih sesuatu, yang spesial.

Waktu berjalan. Bu D**h bersosialisasi dan beraksi di kelasku, mentransfer gugusan formula dan logika ke otak kiriku. Angka dan grafik pun silih berganti menghiasi papan tulis hitam depan kelas. Begitulah, PR dan tugas bak menu wajib harian yang tidak boleh terlewatkan. Saya suka demam dan badan terasa pegal-pegal kalau tidak dikasih PR. Sudah kecanduan sih.

Kalau saya mengatakan paham, itu ya memang paham materi bahasannya dan bisa mengerjakan soal latihannya. Tidak ada istilah insyaallah untuk urusan matematika. Urusan kepleset dan terjebak soal, itu urusan kejelian saja. Biasalah itu. Yang pasti Bu D**h menjanjikan hadiah bagi yang berhasil meraih angka seratus di ulangan mendatang ! Berasa banget tantangannya!

Pre - Memory ...

Hasil ulanganku "hanya" dapat nilai 90, sama dengan yang diraih si Neni, Ardya, Choirul atau si Atik (semoga saya tidak salah sebut). Yang dapat 100 adalah Rina. So Rina lah yang berhak menerima hadiah dari bu D**h. Kecewa dan malu, itu yang kurasa kala itu. Andai bunuh diri itu tidak sakit, dan habis itu bisa hidup lagi, pastilah saya sudah melakukannya.

Something special yang rencananya untuk bu D**h pun urung kuberikan. Tidak tepat waktu. Suasana hatiku lagi berduka, kontras dengan yang spesial tadi. Sebuah gubahan puisi, itulah something special yang kumaksud. Nuansanya jelas tidak sesuai kan?

Karena kurasa tak kuperlukan lagi, puisi dalam amplop itupun kuremas-remas, kulempar begitu saja ke dalam laci mejaku. Besok pagi juga sudah menjadi penghuni tong sampah sekolah, pikirku.

Tapi ... oh tidak ...

Kertas puisiku, yang sudah lusuh itu, kini berada di tangan temanku, Yogis. Dengan isengnya dia baca keras-keras ....

(Hanya satu penggal gubahan yang kuingat)
..........
Oh bu D**h ...
Biarpun gunung Kelud meletus ...
Kau tetap guru kesayanganku ...
..........

Puisi lebay, kata anak gaul sekarang.
Dan beberapa hari berselang, Kelud pun benar-benar meletus !




[Ngamen]
9 Maret 2014

AHAD, 9 Maret 2014 saya terserang flu. Hidung pilek, badan meriang.
Adatnya terkena flu, nafsu makan langsung turun. Dari sekedar turun menjadi hilang total manakala melihat meja makan zooong...! Anak - istri sejak kemarin ke rumah mertua, ada acara shalawatan.

Kalo istri tidak di rumah, saya dibebaskan untuk memilih rumah makan sesuai selera. Baik banget ya istriku, yaiyalah bill-nya juga dibayar dari kantungku sendiri, uang laki-laki! Hihihi ...

Ingin cepat sembuh, saya harus minum obat yang didahului dengan ritual makan nasi.

Sayapun ambil motor, melesat ke Pasar Baru Pare, Depot Munawaroh tujuan utamaku. Bayanganku akan enak menyantap nasi soto daging panas.
Begitu memulai angkat sendok, seorang pengamen mendekati mejaku, gejreng-gejreng menyanyikan sebuah lagu. Ah mengganggu saja nih. Sudah makannya tidak enak, ada "gangguan" lagi.

Cepat kuraba kantung jaketku. Terasa ada koin seribuan. Unfortunately, sikoin ternyata ngumpet di sisi dalam kain, menerobos lewat jahitan yang kendor. Gagal ambil koin, kucomot saja selembar uang terkecil, 20 ribu. Cepat uang kuserahkan ke pengamen sembari mengingatkan tentang kembaliannya. Kulanjutkan menyendok soto.

"Berapa kembaliannya mas? ", tanya sipengamen.
"Udah, terserah !", kuharap dia bisa menimbang antara kwalitas suaranya dengan bayarannya. Kuangkat lagi sendok soto ke mulutku, berusaha tidak merasa terganggu.

"Jadi berapa kembaliannya mas? ", sipengamen mengulangi.
Hah...!
Sipengamen sibuk mencari dan menghitung uang yang harus dikembalikan.

"Berapa mas jadinya?". Oh my book!
"Kalau tidak ada kembalian, udah ambil saja semua!", jawabku sewot. Selera makanku betul-betul menguap.

Setelah agak lama mencari dan mencari uang kembalian di semua sakunya, dia pun menyerahkan empat lembar uang kertas. Total bill hari ini, 9 ribu untuk soto dan teh yang tidak habis separoh, serta 5 ribu untuk sebuah lagu sang pengamen.

Masih tentang pengamen, suatu ketika rumah mertua disamperin seorang pengamen. Kukasih 5 ribu. Eh nyanyinya tidak habis-habis meskipun sudah kustop. Dia baru berhenti usai menyanyikan lagu ke 5. Satu judul lagu seribu rupiah, mungkin begitu hitungannya.

Pernah juga ngasih pengamen 5 ribu saat naik bus jurusan Jogja - Purwokerto. Usai menerima uang jasa, pengamen pun cepat-cepat turun dari bus. Rupanya takut saya akan berubah pikiran hehe...

Sorry, saya sekedar cerita jujur. Bukan bermaksud memamerkan "kedermawanan" saya. Lagian mana ada dermawan hanya bermodal 5 ribu hahaha ...

Cerita pengamen yang terakhir, TKP nya di tempat kos-kosan Malang era 90 an. Seorang pengamen muda datang, jreng jreng jreng .. satu lagu khatam. Giliran ngasih upah jasa,

"Hlo, sampeyan to mas!", sapaku kaget.
Sipengamen lari, tanpa mengambil uang yang kusodorkan.
Sipengamen adalah kakak kelasku sewaktu di SMA. Sipengamen adalah anak laki-laki seorang penggedhe partai GO**AR di daerahku.

Ehiya, masih flu nih. Moga-moga pak bosku baca tulisan ini. Besok mau istirahat di rumah saja. Semoga tidak diganggu pengamen.



[Hobi Membaca]
1 Maret 2014

SEORANG teman mengeluhkan anaknya yang duduk di sekolah dasar tidak suka membaca. Tidak hobi buka buku. Baru pegang sebentar sudah langsung ngantuk dan bukunya dilempar begitu saja. Sepertinya begitu memprihatinkan.

Iseng saya tanya buku apa yang telah ia sodorkan ke anaknya sehingga anaknya sampai tidak doyan menyentuhnya. Jawabnya, "buku diktat bahan ajar di sekolah". Hiyaaa, yaeyalah Bapak... mana ada buku diktat yang menarik. Materi atau isinya melangit! Lihat, diktat PPKn kelas 5 SD sudah membahas lembaga-lembaga tinggi negara lengkap dengan tugas dan wewenangnya. Ga banget ! Terang saja si anak "girap-girap"!.

Pengalamanku, cara jitu untuk menumbuhkan minat baca anak adalah "membombardir"-nya dengan buku, majalah atau bahan bacaan yang lain. Pilih judul atau tema yang kira-kira menarik bagi anak-anak. Ingat, bukan buka diktat PKn atau IPS !. Selanjutnya buku-buku tersebut diletakkan menyebar di beberapa tempat. Di ruang tamu, di ruang keluarga, di tempat tidur atau di depan TV. Prinsipnya, ada buku di setiap ruang. Istilahnya saja "membombardir" so harus merata di seluruh penjuru rumah. Ruangan kita mungkin akan "sedikit" tidak rapi. Jangan kawatir dan jangan pula cerewet, hanya sementara.

Biarkan anak-anak bermain-main dengan buku tersebut. Tidak perlu bertanya materi apa yang dibaca, terlebih membebaninya dengan menanyakan rangkuman atau simpulannya. Kalau berkenan, ia akan cerita sendiri tanpa kita minta. Toh prioritasnya sekedar anak hobi membaca. Hal-hal lainnya masuk prioritas nomor sekian.

Jurus sederhana di atas sudah saya terapkan untuk kedua anakku. Anda punya jurus andalan juga kan?

Setiap pagi, Ghulam menghabiskan banyak waktu di kamar mandi. BAB-nya disambi membaca majalah. Tugas saya mengambil tumpukan majalah di atas closed. Seminggu kemudian, sudah ada tumpukan lagi. No problemo.



[Oleh-oleh]
28 Februari 2014

SAYA pernah cerita, bahwa saya kurang minat beli oleh-oleh ketika sedang bepergian keluar daerah. Banyak ribetnya. Hmm jangan sampai bilang aku pelit atau kikir ! Karena itu benar adanya! ! Wkwkwk ...

Coba, kalau oleh-oleh itu berupa pakaian, maka akan repot menentukan ukuran, mode dan warna. Kedodoran, kesempitan, warna tidak matching dan salah bahan adalah resikonya. Alih-alih membuahkan kesenangan, oleh-olehnya justru mengakibatkan kekecewaan dan berujung pada penyesalan. Pernah ngasih buah tangan istri berupa lembaran kain khas daerah tertentu, dan itu terjadi dua tahun yang lalu. Sampai tulisan ini diturunkan kain itu masih tersimpan rapi di lemari, belum dijahit.

Kalau oleh-oleh itu berupa makanan ? kayaknya tidak jauh berbeda nasibnya. Baru-baru ini ada aksi cuci (gudang) kulkas di rumah. Hasilnya diketemukan antara lain, bungkusan kacang Cah Ayu (seingatku terakhir saya ke Bali Bulan Januari tahun lalu), susu bubuk kambing (oleh-oleh dari Jogja Nov 2013) dan rosela tea celup (kayaknya ini pembelian abad 19 lalu haha). Pernah juga repot-repot bawa roti unyil dari Bandung, baru habis termakan dua bulan kemudian. Selera makan keluargaku memang aneh ! So, yang aman oleh-oleh itu ya berupa buah atau camilan ala indomaret, serta buku bacaan untuk anak-anak.

Eh pernah saya kehabisan ide, ngasih oleh-oleh apa untuk saudara-saudaraku sepulang bepergian jauh. Pikiran mentok, akhirnya pilihan jatuh ke ... gula pasir 2 kg/orang. Tidak romantis sama sekali!

Seringnya, beli oleh-olehnya ketika sudah nyampe rumah. Rame-rame ke pasar lokal (hlo kok?). Iya, budgetnya sekian rupiah, jenis belanjaannya terserah masing-masing maunya apa. Finaly ada yang dapat sepatu, tas, sendal, kaos dll, dan yang pasti ukurannya sesuai, warna pas dan model cucok.

Suatu hari, sepulang dari bepergian. Esoknya seisi rumah berangkat ke tempat perbelanjaan Pare cari oleh-oleh. Di tengah jalan eh... terkena tilang polantas, safety beltnya tidak nge-klik. Terpaksa dana belanja oleh-oleh terkurangi untuk denda tilang. Tega nian pak polisi...! Hik's.

Yang ini lain cerita. Aku tersenyum saat si sulung telfon dari jarak ratusan kilometer.
"Pa, kalau pulang ga usah beli oleh-oleh".
"Hla terus mas Ghulam maunya apa ?", selidikku.
"Nanti kalo sudah pulang, kita nonton film saja di golden teatre! ". Whokee... Itu oleh-oleh versi Ghulam.



Cerita yang lain, klik di sini !

Tidak ada komentar: