Senin, 24 Februari 2014

Cerita dari Facebook

 24 Februari 2014
[Wedi]

WEDI – bahasa Jawa – memiliki makna ganda dalam Bahasa Indonesia. Wedi bermakna pasir, dan wedi bermakna takut. Saat ini kedua makna tersebut memiliki keterkaitan, setidaknya buatku. Aku wedi karo wedi, saya takut dengan pasir. Seingatku saya pernah cerita sedikit tentang phobia. Kalau boleh dikata, phobiaku adalah pasir. Ya itu tadi, aku wedi karo wedi.
 Setidaknya ada tiga kejadian kecelakaan bermotor yang menjadikan saya takut dengan pasir.

Pertama (tahun 2004), kala itu saya bermotor dari rumah menuju madrasah. Di tikungan pondok pesantren Sabilil Huda Bukaan Keling Kec. Kepung berceceran pasir campur kerikil. Meskipun laju kendaraan rendah karena jalanan menikung, tetap saja saya mendarat paksa mencium aspal dengan disaksikan tatapan beberapa pasang mata kang santri. Malu ? Hey sejak kapan saya punya malu ? ... tidak sama sekali ! Meski rasa malu sudah saya buang jauh-jauh, toh lengan tanganku tetap lecet-lecet. Terasa pedih kalau tersentuh air. Hatiku sempat dongkol, ini yang mengaspal jalan kok ya tidak memikirkan kemiringan tikungan. Gaya sentrifugalnya diabaikan (hehe fisikanya muncul) !

Kedua (tahun 2011), kejadiannya sore hari saat saya pulang kantor lewat jalan alternatif Bendo – Gedangsewu Kec. Pare. Jalur dua arah untuk motor dan searah untuk roda empat ini memang sempit. Dari arah yang berlawanan ada sebuah bus jurusan Surabaya – Kediri melaju kencang. Sopir ugal-ugalan ternyata tidak hanya dimonopoli oleh S*mber Kenc*no. Merasa ada “ancaman, tantangan, halangan dan gangguan “ (jadi ingat istilah ATHG saat penataran P4) saya pun menepi. Sayangnya tepian aspal penuh dengan butiran pasir. Whussss .... bus lewat, dan saya pun sukses mendarat di permukaan aspal. Kali ini kulit lenganku terselamatkan oleh jaket. Tapi sial, sepatu baruku tergores permanen. Mana baru angsuran pertama lagi !

Ketiga (tahun 2012), ketika itu Pemkab Kediri sedang menggelar Pameran Budaya dan Pariwisata di area Simpang Lima Gumul selama sepuluh hari. Secara aku adalah hari-hari yang melelahkan. Pagi hari sampe sore masuk kantor seperti biasa, malamnya (tidak tiap malam sih, sesuai jadwal saja) bertugas jaga stand pameran. Malam itu, tugas di stand pameran sukses. Setelah cari oleh-oleh buat buka pintu rumah, jam 21.00 WIB saya pulang. Jalanan sudah mulai lengang. Kediri – Pare cukup memakan waktu 35 menit saja. Aman, damai dan sejahtera ! Namun ketenteraman berkendara mulai terusik ketika memasuki jalan raya Dusun Kwagean Desa Krenceng, arah menuju Kandangan – Malang. Sebuah sedan dari arah depan berusaha mendahului sebuah truk yang melaju searah. Tidak mau celaka, saya pun turun dari bahu jalan aspal yang ternyata berpasir. Kali ini saya kembali sukses terlempar dari motor, rupanya gaya gesek ban tidak imbang dengan kecepatan putar roda. Walhasil sebagian oleh-oleh untuk istri dan anak-anak tercinta berhamburan.

Oke, ketiga insiden di atas saya rasa cukup untuk pelajaran. Saya tidak ingin lagi celaka akibat pasir. Sedapat mungkin menghindar dengan makhluk yang namanya pasir. Sejauh ini bisa. Tapi ... erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 memaksaku untuk bersentuhan dengan pasir. Sampai hari ke 12 pasca letusan, jalanan kabupaten dan kota belum terbebas dari pasir. Sisi pinggir aspal masih banyak butiran pasir liar. Phobiaku muncul. Rasa takutku terhadap pasir belum hilang. So... tidak ada keberanian mengendarai motor dengan kecepatan tinggi dan sukanya mengambil jalan di tengah. Kalau jalanan ramai, terpaksa jalan di pinggir aspal. Itu artinya harus lambat. Itu artinya saya jadi sering datang terlambat sampai kantor.

Hanya satu keinginanku, semoga Pak Bos memaklumi kalau saya telat dan telat lagi. Saya tidak ingin celaka di jalan. Saya benar-benar takut pasir, aku wedi karo wedi. 


12 Februari 2014
 [Tèngu]

ANDA tumbuh dan berkembang di desa? Jika jawabannya "ya", maka Anda dipastikan pernah mengalami gatal-gatal akibat gigitan tengu.
Tengu atau tungau dikenal sejak 400 juta tahun yang lalu. Avertebrata mungil ini menjadi parasit pada hewan atau manusia selaku inangnya.
Tentu saja mahluk mini ini mencari tempat hunian yang nyaman. Dan itu ada di lipatan ketiak, belakang lutut, pusar, lipatan paha dan alat vital. Anak-anak yang suka main di kebun menjadi sasaran empuk si merah ini. Akibatnya, akan terasa gatal yang teramat sangat di satu titik tempat tengu mangkal. Celakanya, tidak mudah "mengusir" tengu dari tumpangan gratisnya.
Memang benar belum ada laporan berita orang meninggal akibat serangan tengu, tapi bagaimanapun rasa gatal tetap saja mengganggu. Makan tak enak, tidur tak nyenyak! Mirip gejala orang yang patah hati, galau sepanjang hari hihihi...
Cara lama mematikan tengu adalah dengan cara mengolesi bagian yang terkena tengu dengan minyak tanah. Cara ini ampuh, tapi memakan waktu lama.
Ada cara terkini yang lebih efektif dan hasilnya terpampang nyata. Pakai isolasi. Potong isolasi sepanjang 2 cm. Lekatkan pada permukaan kulit tempat kost tengu. Tekan pelan-pelan, dan ... tarik ! Si tengu pun terusir paksa dari hunian nyamannya. Ada baiknya dipilih isolasi yang berbahan kertas putih, karena akan terlihat jelas tengu melekat dan terjebak tak berdaya di permukaan isolasi. Puas!
Ghulam dan Nasywa kalau terkena tengu, pastilah isolasi sebagai senjata andalan. Sampai-sampai setiap kali gatal Ghulam minta ditempeli isolasi, meskipun gatalnya bukan karena tengu! 



Cerita yang lain, klik di sini !

Tidak ada komentar: