Rabu, 05 Februari 2014

Cerita dari Facebook

 1 Februari 2014
[Kemalingan]
 
ONCE upon time lingkungan tempat tinggalku pernah betul-betul tidak aman dari ulah pencuri (eh kejadiannya satu dua tahun yang lalu, sekarang sudah aman). Pencuri kelas teri sih, tapi tetap saja bikin gèmès dan penasaran. Yang digondol mulai dari timba yang tertinggal di luar rumah, ayam, sepeda, dompet di kamar dll. Pencurian yang betul-betul konvensional dan tidak modern sama sekali !
Pak ketua RT tak berkutik, ketua RW tak berdaya. Si pencuri semakin menjadi-jadi.
Dapur milik kakakku dibobol. Sekarung beras diangkut sekaligus bersama sepeda phoenix-nya. Lucunya, si pencuri masih sempat ninggali tuan rumah sebakul beras yang sengaja diambilkan dari karung! Hahaha.
Tiba gilirannya dapur milikku, dibobol juga. Konon siang itu saya barusan menggilingkan (jawa, nyèlepne) padi menjadi beras. Beras kuwadahi di panci blirik, panci besar yang biasanya buat masak soto saat ada hajatan. Berasnya sampai munjung. Nah, malam harinya panci berisi beras diangkut pencuri.
Saya bilang ke istri, kalo habis kemalingan (rumahku sampai empat kali kemalingan) ga usah proklamasi ke seluruh dunia. Malu, hebohnya ga sebanding dengan nominal kerugian. Bapakkupun ga boleh tahu, takut membenani pikiran beliau. Pokoknya kami rahasiakan!.
Beberapa hari kemudian,
"Le (nak), hla berasmu yang kemarin dimana kok tadi sudah beli beras di toko depan", tanya bapak.
"Emm... dicuri tikus Pak", jawabku sekenanya, antara jujur dan dusta.
Bapak tidak melanjutkan pertanyaannya, meskipun saya tahu bapak masih belum puas dengan jawabanku.
Keesokan harinya,
"Le (nak), panci blirikmu apa juga sekalian dicuri tikus?", selidiknya bernada humor.
"Injih ...!". Hihihi..
Klimaks dari cerita ini adalah ketika pencuri berhasil ditangkap warga, yang ternyata si pencuri adalah warga kampungku sendiri. Saat itu saya tidak sedang di TKP, sehingga saya tidak tahu persis kejadiannya.
Walhasil, ceritaku tanpa anti klimaks !.


31 Januari 2014
[Kelainan]
 
KALI ini tentang aku, diri pribadiku. Oleh karenanya, kujamin ini bukan gosip, isu ataupun fitnah. Sumbernya primer, dari orang pertama yang terpercaya.
Ssttt... ternyata saya punya KELAINAN! Itu tema tulisan kali ini. Kelainan? Iya kelainan! (Wah prolognya setajam silet nya Venny Rose!).
Beberapa saat lalu, saya sempat googling. Mencari istilah yang tepat, setidaknya mendekati, dari apa yang kualami. Ya tentang kelainanku itu. Ternyata rumit memilih kata kunci. Sudah rumit ketambahan sinyal cenut-cenut. Dan hasilnyapun nihil. Key wordnya memunculkan pranalar yang teramat jauh dari yang kuharapkan. Dari pada salah persepsi, aktualisasi, kalkulasi dan eksekusi, akhirnya kuputuskan untuk tidak memberinya istilah. Pokoknya kelainan gitu saja. Googlingpun dihentikan karena cuaca yang kurang mendukung (layaknya tim SAR mencari korban kebanjiran di ibu kota).
By the way, saat googling tadi key word yang kupasang diantaranya adalah adil, keadilan, rasa adil, adil pada badan, rasa keadilan pada tubuh. Nut nut nut ... nut nut... banyak tawaran penelusuran ke urusan hukum, pengadilan, sila-sila Pancasila bahkan KPK dan banggar DPR RI. Semua itu bukan yang kukehendaki.
Kok masalah keadilan? Terus kelainannya dimananya?
Cerita singkatnya, dulu jiwa saya hampir selalu menuntut asas keadilan atas anggota badan kiri dengan yang kanan. Begitu sebaliknya. Mengistimewakan yang kanan harus diimbangi yang kiri. Sakit sebelah kiri, yang kananpun musti ikut merasakan.
Konon saat itu Arbai kecil (yang masih imut dan unyu) naik sepeda berangkat ke sekolah. Tanpa sengaja jari tangan kiri tergores tembok pagar akibat berkendara terlalu minggir kiri. Spontan, jejari tangan kananpun bersimpati dan berempati, ingin ikut "merasakan" tergores tembok pagar. Dituruti? Ya iyalah. Kalau tidak, akan terus dibayangi "keinginan" untuk menegakkan keadilan bagi seluruh anggota badan.
Anda pernah (maaf) ngup*l ? Pakai jari kelingking kiri kan? Sama, saya juga. Anda pasti tahu kelanjutannya.
Suka setrika? Itu hobiku sejak jaman majapahit dulu! Satu dua kali jejari tangan kiriku tersentuh permukaannya yang panas. Alamak! Jejari yang kananpun ingin ikut mencicipi. Jempol kaki kanan kesandung batu, yang kiripun ga mau kalah. Udah deh pokoknya asyik, ngeri, penasaran dan berakhir dengan rasa nyaman. Betul, belum merasa nyaman kalau belum menyamakan skor 1 - 1.
Itulah kelainanku dulu. Saat itu rasanya biasa saja, tidak juga tergoda untuk konsul ke psikolog.
Kini kelainan itu sudah jauh berkurang, bahkan hampir terkikis habis. Kalaupun toh sampai hilang, ga perlu disesali. Ga perlu sampai lapor kehilangan ke polisi !
Ehiya, dulu ibu saya pelihara ayam kampung. Waktu main-main, telapak kaki kiriku menginjak kotoran ayam. Silakan dilanjut sendiri...!


29 Januari 2014
[Mikroskop]
 
HAL yang tidak kusukai saat penerimaan raport anak-anak adalah selalu saja ada yang tanya,
"Mas Ghulam peringkat berapa?",
"Dik Nasywa dapat rangking ga?".
Rupanya mereka belum tahu bahwa bagi kami titel peringkat satu bukan utama. Kami juga tidak mendewakan rangking (lagian memang ga ada dewa rangking, kalo dewa amor saya paham hehe). Yang lebih penting bagi kami adalah bagaimana anak-anak mempertanggung jawabkan kegiatan belajarnya. Kalaupun "terpaksa" dapat peringkat, anggap saja itu bonus yang tidak perlu diproklamasikan sampai ke ujung dunia. Apresiasi dan reward tentu ada, tapi biarlah itu menjadi urusan kami. Privasi keluarga kami. ( Eh kok malah mirip artis pendatang baru yang diuber-uber wartawan menanyakan hubungan gelapnya dengan seorang pejabat, "itu privasi gue, masalah buat lo !" hihihi).
Tentang rangking yang tadi, untuk kali ini agak-agak sedikit lain. Gimana ya... semacam pengecualianlah! Itu terjadi manakala ada surat edaran dari pengurus Koperasi Canda Bhirawa yang menawarkan beasiswa bagi murid yang berprestasi. Indikasinya jelas bin gamblang, rangking satu di kelasnya! Bukan rangking 2 atau 3,25 hehehe. Nilai rupiahnya 150 ribu per anak. Kalau dua anak, 300 ribu. Hmm lumayan!
Nah, kalau gini baru predikat juara itu penting. Kedengarannya matre ya ? Biar saja.
GPL, waktunya beraksi! Buat surat permohonan, lengkapi syarat administrasi secukupnya (pakai acara potokopi dan legalisasi segala hlo, mirip-mirip administrasi calon anggota dewan!). Antar ke kantor koperasi. Dan....hasilnya nanti akan disampaikan via telpon kantor.
Belum juga ada pengumuman, seisi rumah sudah mulai heboh. Si sulung berencana memberi bapak ibunya masing-masing 25 ribu, yang seratus akan dibelanjakan blablabla. Sementara si bungsu, mau ambil seluruhnya (bapak ibunya tidak dapat santunan, kasihan deh kita) buat beli blablabla.
Emm ga apa-apa sih, uang juga uang-uang mereka sendiri. Tapi tunggu dulu, naga-naganya itu rupiah tidak akan meninggalkan bekas apalagi jejak. Oh tidak.
Si bapak musti intervensi ini! NKRI harga mati!
Maka terjadilah negosiasi, persuasi, sugesti, provokasi, manipula...eh ga dhing, yang terakhir distipo! Thang thing thung theng thong. Menimbang, mengingat, memperhatikan, dan memutuskan :
1. Mas & adik masing-masing pegang 50 ribu. Yang 200 ribu dipegang bapak.
2. Ibu menambah 50 ribu, diserahkan ke bapak.
3. Bapak menambah 500 ribu (ini sih bukan menambah, tapi modal utama!).
4. Terkumpul uang 750 ribu, untuk ...... membeli mikroskop.
"Hore beli mikroskop... beli mikroskop!", mas Ghulam bersorak.
Tahu si-mas bergembira ria, si-adik spontan ikutan bersorak.
"Beli mikroskop...beli mikroskop...!", teriak Nasywa sembari menari-narikan tangannya ke atas.
Setelah sekian waktu dalam euforia, si Nasywa terdiam. Mendekati ibu.
"Mikroskop itu apa sih?", tanyanya polos.


Cerita yang lain, klik di sini !

Tidak ada komentar: