1 Februari 2014
[Kemalingan]
ONCE upon time lingkungan tempat tinggalku pernah betul-betul tidak
aman dari ulah pencuri (eh kejadiannya satu dua tahun yang lalu,
sekarang sudah aman). Pencuri kelas teri sih, tapi tetap saja bikin
gèmès dan penasaran. Yang digondol mulai dari timba yang tertinggal di
luar rumah, ayam, sepeda, dompet di kamar dll. Pencurian yang
betul-betul konvensional dan tidak modern sama sekali !
Pak ketua RT tak berkutik, ketua RW tak berdaya. Si pencuri semakin menjadi-jadi.
Dapur milik kakakku dibobol. Sekarung beras diangkut sekaligus bersama
sepeda phoenix-nya. Lucunya, si pencuri masih sempat ninggali tuan rumah
sebakul beras yang sengaja diambilkan dari karung! Hahaha.
Tiba
gilirannya dapur milikku, dibobol juga. Konon siang itu saya barusan
menggilingkan (jawa, nyèlepne) padi menjadi beras. Beras kuwadahi di
panci blirik, panci besar yang biasanya buat masak soto saat ada
hajatan. Berasnya sampai munjung. Nah, malam harinya panci berisi beras
diangkut pencuri.
Saya bilang ke istri, kalo habis kemalingan
(rumahku sampai empat kali kemalingan) ga usah proklamasi ke seluruh
dunia. Malu, hebohnya ga sebanding dengan nominal kerugian. Bapakkupun
ga boleh tahu, takut membenani pikiran beliau. Pokoknya kami
rahasiakan!.
Beberapa hari kemudian,
"Le (nak), hla berasmu yang kemarin dimana kok tadi sudah beli beras di toko depan", tanya bapak.
"Emm... dicuri tikus Pak", jawabku sekenanya, antara jujur dan dusta.
Bapak tidak melanjutkan pertanyaannya, meskipun saya tahu bapak masih belum puas dengan jawabanku.
Keesokan harinya,
"Le (nak), panci blirikmu apa juga sekalian dicuri tikus?", selidiknya bernada humor.
"Injih ...!". Hihihi..
Klimaks dari cerita ini adalah ketika pencuri berhasil ditangkap warga,
yang ternyata si pencuri adalah warga kampungku sendiri. Saat itu saya
tidak sedang di TKP, sehingga saya tidak tahu persis kejadiannya.
Walhasil, ceritaku tanpa anti klimaks !.
31 Januari 2014
[Kelainan]
KALI ini tentang aku, diri pribadiku. Oleh karenanya, kujamin ini bukan
gosip, isu ataupun fitnah. Sumbernya primer, dari orang pertama yang
terpercaya.
Ssttt... ternyata saya punya KELAINAN! Itu tema tulisan
kali ini. Kelainan? Iya kelainan! (Wah prolognya setajam silet nya
Venny Rose!).
Beberapa saat lalu, saya sempat googling. Mencari istilah yang tepat, setidaknya mendekati, dari apa
yang kualami. Ya tentang kelainanku itu. Ternyata rumit memilih kata
kunci. Sudah rumit ketambahan sinyal cenut-cenut. Dan hasilnyapun nihil.
Key wordnya memunculkan pranalar yang teramat jauh dari yang
kuharapkan. Dari pada salah persepsi, aktualisasi, kalkulasi dan
eksekusi, akhirnya kuputuskan untuk tidak memberinya istilah. Pokoknya
kelainan gitu saja. Googlingpun dihentikan karena cuaca yang kurang
mendukung (layaknya tim SAR mencari korban kebanjiran di ibu kota).
By the way, saat googling tadi key word yang kupasang diantaranya adalah
adil, keadilan, rasa adil, adil pada badan, rasa keadilan pada tubuh.
Nut nut nut ... nut nut... banyak tawaran penelusuran ke urusan hukum,
pengadilan, sila-sila Pancasila bahkan KPK dan banggar DPR RI. Semua itu
bukan yang kukehendaki.
Kok masalah keadilan? Terus kelainannya dimananya?
Cerita singkatnya, dulu jiwa saya hampir selalu menuntut asas keadilan
atas anggota badan kiri dengan yang kanan. Begitu sebaliknya.
Mengistimewakan yang kanan harus diimbangi yang kiri. Sakit sebelah
kiri, yang kananpun musti ikut merasakan.
Konon saat itu Arbai
kecil (yang masih imut dan unyu) naik sepeda berangkat ke sekolah. Tanpa
sengaja jari tangan kiri tergores tembok pagar akibat berkendara
terlalu minggir kiri. Spontan, jejari tangan kananpun bersimpati dan
berempati, ingin ikut "merasakan" tergores tembok pagar. Dituruti? Ya
iyalah. Kalau tidak, akan terus dibayangi "keinginan" untuk menegakkan
keadilan bagi seluruh anggota badan.
Anda pernah (maaf) ngup*l ? Pakai jari kelingking kiri kan? Sama, saya juga. Anda pasti tahu kelanjutannya.
Suka setrika? Itu hobiku sejak jaman majapahit dulu! Satu dua kali
jejari tangan kiriku tersentuh permukaannya yang panas. Alamak! Jejari
yang kananpun ingin ikut mencicipi. Jempol kaki kanan kesandung batu,
yang kiripun ga mau kalah. Udah deh pokoknya asyik, ngeri, penasaran dan
berakhir dengan rasa nyaman. Betul, belum merasa nyaman kalau belum
menyamakan skor 1 - 1.
Itulah kelainanku dulu. Saat itu rasanya biasa saja, tidak juga tergoda untuk konsul ke psikolog.
Kini kelainan itu sudah jauh berkurang, bahkan hampir terkikis habis.
Kalaupun toh sampai hilang, ga perlu disesali. Ga perlu sampai lapor
kehilangan ke polisi !
Ehiya, dulu ibu saya pelihara ayam kampung.
Waktu main-main, telapak kaki kiriku menginjak kotoran ayam. Silakan
dilanjut sendiri...!
29 Januari 2014
[Mikroskop]
HAL yang tidak kusukai saat penerimaan raport anak-anak adalah selalu saja ada yang tanya,
"Mas Ghulam peringkat berapa?",
"Dik Nasywa dapat rangking ga?".
Rupanya mereka belum tahu bahwa bagi kami titel peringkat satu bukan
utama. Kami juga tidak mendewakan rangking (lagian memang ga ada dewa
rangking, kalo dewa amor saya paham hehe). Yang lebih penting bagi kami
adalah bagaimana anak-anak
mempertanggung jawabkan kegiatan belajarnya. Kalaupun "terpaksa" dapat
peringkat, anggap saja itu bonus yang tidak perlu diproklamasikan sampai
ke ujung dunia. Apresiasi dan reward tentu ada, tapi biarlah itu
menjadi urusan kami. Privasi keluarga kami. ( Eh kok malah mirip artis
pendatang baru yang diuber-uber wartawan menanyakan hubungan gelapnya
dengan seorang pejabat, "itu privasi gue, masalah buat lo !" hihihi).
Tentang rangking yang tadi, untuk kali ini agak-agak sedikit lain.
Gimana ya... semacam pengecualianlah! Itu terjadi manakala ada surat
edaran dari pengurus Koperasi Canda Bhirawa yang menawarkan beasiswa
bagi murid yang berprestasi. Indikasinya jelas bin gamblang, rangking
satu di kelasnya! Bukan rangking 2 atau 3,25 hehehe. Nilai rupiahnya 150
ribu per anak. Kalau dua anak, 300 ribu. Hmm lumayan!
Nah, kalau gini baru predikat juara itu penting. Kedengarannya matre ya ? Biar saja.
GPL, waktunya beraksi! Buat surat permohonan, lengkapi syarat
administrasi secukupnya (pakai acara potokopi dan legalisasi segala hlo,
mirip-mirip administrasi calon anggota dewan!). Antar ke kantor
koperasi. Dan....hasilnya nanti akan disampaikan via telpon kantor.
Belum juga ada pengumuman, seisi rumah sudah mulai heboh. Si sulung
berencana memberi bapak ibunya masing-masing 25 ribu, yang seratus akan
dibelanjakan blablabla. Sementara si bungsu, mau ambil seluruhnya (bapak
ibunya tidak dapat santunan, kasihan deh kita) buat beli blablabla.
Emm ga apa-apa sih, uang juga uang-uang mereka sendiri. Tapi tunggu
dulu, naga-naganya itu rupiah tidak akan meninggalkan bekas apalagi
jejak. Oh tidak.
Si bapak musti intervensi ini! NKRI harga mati!
Maka terjadilah negosiasi, persuasi, sugesti, provokasi, manipula...eh
ga dhing, yang terakhir distipo! Thang thing thung theng thong.
Menimbang, mengingat, memperhatikan, dan memutuskan :
1. Mas & adik masing-masing pegang 50 ribu. Yang 200 ribu dipegang bapak.
2. Ibu menambah 50 ribu, diserahkan ke bapak.
3. Bapak menambah 500 ribu (ini sih bukan menambah, tapi modal utama!).
4. Terkumpul uang 750 ribu, untuk ...... membeli mikroskop.
"Hore beli mikroskop... beli mikroskop!", mas Ghulam bersorak.
Tahu si-mas bergembira ria, si-adik spontan ikutan bersorak.
"Beli mikroskop...beli mikroskop...!", teriak Nasywa sembari menari-narikan tangannya ke atas.
Setelah sekian waktu dalam euforia, si Nasywa terdiam. Mendekati ibu.
"Mikroskop itu apa sih?", tanyanya polos.
Cerita yang lain, klik di sini !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar