Rabu, 16 April 2014

She Loves Me



RETARDASI mental adalah kondisi anak dengan tingkat kecerdasan rendah dan kesulitan beradaptasi. Kita lebih mengenalnya dengan istilah keterbelakangan mental. Ma*tini mengalami retardasi mental. Dan Ma*tini ... mencintaiku.

Ma*tini, tetanggaku, lahir 34 tahun yang lalu dalam kondisi penuh keprihatinan. Pernah mengecap pendidikan hingga kelas 2 SD, sebelum akhirnya dropout setelah beberapa kali tinggal kelas.

Meski tidak berkemampuan dalam calistung, dia cukup peduli dengan kebersihan diri dan lingkungannya. Menyapu, cuci baju dan mandi, dia mampu. Cukup "pintar" juga dalam berbusana muslimah dan mematut diri. Untuk urusan ibadah, nomor wahid dah. Tidak ada salahnya saya berdo'a, semoga tiket ke surga berlaku juga untuk penderita sindrom fragile X. Setidaknya ada selembar, khusus untuk Ma*tini.

Bermula dari "hobinya" shalat berjamaah, siang itu dia jalan kaki sendirian menuju masjid. Saya yang bersepeda kumbang sok berbaik hati menawarkan tumpangan gratis tarip nol rupiah. Mungkin sayalah satu-satunya jejaka yang "beruntung" memboncengnya selama ini hehe....

Usai shalat, si gadis sudah langsung standby di dekat sepeda. Bayangin coba! Dan itu akhirnya tidak terjadi sekali saja, esoknya kejadian berulang. Lagi dan lagi. Hmm...gak perlu berpikiran ngèrès, tidak pakai pegang pinggang !

Para tetangga seperti mendapat tontonan gratis. Di awalnya saya fine-fine saja, namun lama-lama ternyata saya tidak fine-fine lagi. Kaum hawa enak banget ketawa-ketiwi di atas penderitaan orang lain. Mereka sering mencandain "kita". Kalau sudah begitu biasanya saya jawab,

"Orang gak' normal saja, ngerti mana orang ganteng. Nah yang normal mestinya lebih berani kalau tidak mau keduluan ".

Hahaha ...

Jawaban di atas tidak usah dipercaya, mana mungkin orang sebaik saya mampu bicara sekeji itu hahaha...

Eh dia punya panggilan spesial untukku, "Mas Ba'i". Padahal tetanggaku tidak ada yang memanggilku demikian. Suka merinding kalau mendengar disapa seperti itu. Hihihi.

Ma*tini pun mengenal surat cinta. Itu juga hasil olok-olok para tetangga. Mereka ngompori untuk membuat surat buatku. Suratnya jadi dan terkirim ke alamat yang tepat.

Suatu pagi kutemukan sebuah amplop putih di bawah pintu. Sampul amplop bertuliskan "sandi rumput". Kertas di dalamnya juga penuh dengan sandi yang sama. Meski tidak tertulis kalimat I love you, tapi goresan penanya menyiratkan makna yang lebih dari itu. She loves me, so much....!


................


MA*TINI punya pasukan kecil. Pasukan kanak-kanak, anak para tetangga. Sebagai komandan, dia begitu perhatian dengan anak buahnya. Sewaktu mereka bermain saya melihat si retardasi mental bertindak layaknya induk semang. Meminta ini itu, melarang ini itu, berteriak-teriak memberi komando dan ... menyayangi pasukan kecilnya. Menjaga dan mengayominya.
Sampai saya berpikir, para pemimpin negeri ini perlu juga belajar ke penyandang sindrom fragile X macam Ma*tini. Biar tumbuh sikap asah, asih dan asuhnya.

Usai kejadian surat cinta, Ma*tini semakin sering bermain ke rumahku. Kayaknya dia tidak peduli cintanya diterima atau ditolak oleh sang arjuna ini hihi... Atau jangan-jangan dia tidak paham bahwa sepucuk surat yang telah terkirim itu perlu sebuah balasan sebagai respon. Toh dia juga tidak nulis NB : 4 X 4 = 16. Sempat tidak sempat harus dibalas. Saya yakin anak sekarang tidak mengenal istilah ini. Istilah jadul !

Tetap dengan pasukannya, dia sengaja menggiring mereka untuk bermain ke halaman rumahku, ke serambi, ke ruang tamu bahkan sampai ke ruang keluargaku untuk nonton TV rame-rame. Padahal di rumahnya juga ada TV. Modus !

Semakin jelas modusnya, saat pagi hari. Saat saya menyapu halaman. Saat kebanyakan warga kampungku juga melakukan hal yang sama. Dan Ma*tinipun tidak ketinggalan ikutan menyapu halaman, sekaligus memanfaatkan situasi untuk menarik perhatianku. Sesekali dia berbaik hati menyapukan sebagian area wewenangku. Kadang dia ijin sebelum melakukannya, kadang tidak. How ever, untuk kejadian ini saya merasa diuntungkan.

Beranjak remaja, Ma*tini mengalami saat pertama kedatangan tamu. Tamu yang selanjutnya rutin mengunjunginya. Tamu yang suatu ketika pernah membuat repot takmir masjid. Repot menyuci lantai masjid yang ternoda merah. Repot memberikan pengertian tentang tamu rutinnya. Ternyata dia bisa paham. Tragedi noda merah tidak terulang.

Ma*tini masih juga rajin beribadah. Disamping shalat dia juga belajar membaca Alqur'an, belajar sendiri dengan metode Baghdadiy. Usahanya sih oke, tapi jangan berharap hasilnya. Harap maklum. Sukanya "baca" keras-keras di serambi depan rumahnya. Gayanya tidak kalah dengan qari'ah profesional. Dengan berkerudung hijau, mukanya menunduk, menghadap buku baghdadinya. Sebentar kemudian terdengar jelas bacaan ta'awudz dan basmalah dilafalkannya. Selebihnya ... terserah dia. Hehe... Apapun itu, semoga malaikat Raqib bermurah hati mencatatnya sebagai amal baik.

Candaan para tetangga tetap jalan terus. Tepatnya ke Ma*tini. Tidak ke saya.
"Mbak Ma*tini, mas Ba'i itu sekarang pacaran sama mbk Tiwi hlo", goda seorang ibu, menyebutkan nama anak gadisnya.

Maka Ma*tini pun akan sewot, menggumam tak jelas. Diikuti suara "senggrangan" dari mulutnya serta bahasa tubuh yang menunjukkan rasa jengkel. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Kasihan !

Kalau kemarin-kemarin saya bisa cuek "menghadapi" Ma*tini, namun pada akhirnya saya kepikiran juga tentang kemungkinan apa yang bakalan terjadi di hari-hari selanjutnya. Sikapku yang seolah memberi harapan harus secepatnya direvisi, ditinjau ulang! Dan itu artinya, saya akan mulai mengurangi frekwensi memberinya tumpangan saat berangkat ke masjid, mengurangi basa-basi tegur sapa di beranda rumah dan mengurangi rutinitas nyapu bareng.

Waktu terus berlalu, dan kegiatanku juga semakin banyak. Masalah Ma*tini kuanggap selesai, tidak ada !
Namun, diluar perhitunganku ternyata Ma*tini tidak menyerah begitu saja ! 


.................


TAHUN 2002 saya menikah, tidak dengan Ma*tini tentu saja. Saya pernah nulis :
" Orang gak' normal saja tahu orang ganteng .. "
So, pasti wajah saya masih cukup marketable untuk menarik gadis normal.

Selanjutnya saya sudah tidak memikirkan si sindrom fragile X. Cukup memikirkan kerja dan rumah tangga sendiri. Orang normal memikirkan yang normal-normal saja. Haha ...

Justru yang terlihat acap kali berbasa-basi dengan Ma*tini adalah istriku. Biasanya pagi hari ketika dia belanja sayur dan keperluan dapur lainnya ke toko depan, ketemulah dia dengan Ma*tini. Tidak perlu kawatir akan adanya adegan dua wanita bersitegang lalu saling jambak rambut. Tidak, tidak ada itu! Itu mah sinetron Punjabi banget ! Cukup Depe sama Jupe saja yang meringkuk dibalik jeruji hehehe ...

Ma*tini belum menyerah ! Bahkan sampai detik ini, tahun 2014. Kalau saya mulai jarang menampakkan batang hidung, dia akan atur strategi. Misalnya nih, kalau mau ke masjid atau lokasi pengajian muslimatan, dia mestinya bisa ambil jalan lurus, yang lebih dekat dan beraspal. Tapi nyatanya tidak. Dia lebih suka memilih jalan ruwet, lebih jauh dan lewat kebun menembus semak belukar. Alasannya jelas, jalan itu lewat tepat di depan pintu rumahku. Modus bingit kan? Hihi ...

Sekali dua kali anak-anakku ikut jadi anggota tidak tetap pasukan kecil Ma*tini. Masih juga dia dengan sifat mengayominya. Masih juga dengan gumaman ala retardasi mentalnya. Dan di beberapa kesempatan, dia terlihat menggendong anggota terkecil gengnya.

Tahun 2012, ayah Ma*tini meninggal di usia 70 an tahun. Ibunya yang berusia tak jauh berbeda juga mulai menurun kesehatannya. Praktis tanggung jawab keluarga berada di tangan kakak kandung Ma*tini nomor tiga yang masih tinggal serumah dengan mereka.

Perjalanan hidup keluarga Ma*tini memasuki babak baru, semakin penuh dengan aral rintangan. Memang benar, kebodohan dan kemiskinan bagai dua mata sisi koin yang terjalin kuat. Beberapa program pemerintah macam peningkatan gizi keluarga dan bedah rumah seakan tidak berbekas. Program telah terlaksana dan usai. Tapi keluarga Ma*tini seakan kian terpuruk di lembah kemiskinan.

Suatu hari, di tahun 2012.

Ma*tini dan ibunya naik bus umum bepergian ke Kertosono, ke rumah kakak tertuanya. Berangkatnya lancar, tanpa permasalahan berarti. Namun tidak untuk pulangnya. Pulangnya sampai rumah ternyata si ibu hanya sendirian, tanpa Ma*tini. Langsung, headline berita di dusunku saat itu, MA*TINI HILANG.

Ibu Ma*tini seakan linglung, tidak tahu kapan dan dimana dia mulai berpisah dengan putrinya. Tidak ada info berarti yang dapat dikorek darinya. Saya sempat menduga, Ma*tini dibuang. Tapi cepat-cepat prasangka tak berdasar itu kubuang jauh-jauh. Astaghfirullah! .

Beberapa familinya memulai proses pencarian, menyisir sasaran utama terminal bus antar kota. Terminal Kediri, Kertosono dan Jombang. Saya sendiri berencana mencarinya juga, tapi belum menemukan waktu yang tepat.

Saat hujan sore hari, saya yakin, semua orang di lingkunganku pasti akan teringat Ma*tini, memikirkan nasibnya. Dia berteduh dimana, sudah makan apa belum, tidur dimana dan ... ya Allah, dia gadis lugu yang tidak tahu betapa kerasnya kehidupan jalanan ! Semoga Tuhan melindungi hamba-Nya yang lemah dari segala ancaman dan gangguan.

Hari berganti dan minggu bergulir. Pencarian Ma*tini belum menampakkan hasil. Justru permasalahan baru mulai muncul. Ibu Ma*tini semakin linglung, mendekati pikun. Kalau sebelumnya, Ma*tini yang sering datang ke rumah "mengapeliku", kini ibu Ma*tini yang sering datang menemui bapakku. Tujuannya pamit mau pergi. Di tangannya sudah ada sebuah tas dan sebuah bantal. Habis pamit, dia menuju jalan raya. Mau pergi, minggat. Berikutnya kakak Ma*tini terlihat tergopoh-gopoh berlari-lari menghalanginya, mencegahnya. Begitu berkali-kali.

Pernah istriku bersitegang dengannya. Gegara dia bersikukuh masuk ke kamar bapak, padahal bapak lagi mandi dikamarnya. Istriku pun berhasil menggelendengnya keluar rumah, dan istriku dihadiahi omelan dan caci maki.

Semua ikut prihatin. Keluarga Ma*tini benar-benar dalam cobaan. Yang tersisa hanya pasrah sembari menunggu keajaiban.

Sudah sekitar sebulan lebih Ma*tini meninggalkan rumah. Tidak ada lagi gadis berkerudung yang malu-malu kucing lewat depan pintu rumah, tidak ada suara sapu lidi yang menggores sampah, dan komplotan pasukan kecilpun telah kehilangan komandan.

Terasa ada yang hilang ...

Ma*tini tiada kabar beritanya. Masjidku kehilangan salah satu jama'ah terajinnya. Hingga suatu sore ...
Sebuah mobil Avanza hitam berbelok ke halaman rumah Ma*tini. Sepasang suami istri keluar dari mobil diikuti - kemungkinan - anaknya. Dan diantara mereka ada gadis berkerudung, Ma*tini ! Benar Ma*tini ! Ma*tini telah kembali ! Horeee... !

Semua orang lega. Semua orang gembira. Sang komandan pasukan kecil telah tiba kembali di markasnya.
Para tetangga bergantian datang mewartakan kondisi keselamatannya. Ternyata tidak ada yang kurang pada diri Ma*tini. Dia hanya masih takut berdekatan dengan ibunya, wanita yang entah bagaimana telah meninggalkannya di tempat asing untuk beberapa lama.

Namun euforia ditemukannya Ma*tini tidaklah berlangsung lama. Setelah satu dua hari dielu-elukan, semua kembali seperti sediakala.

Kehidupan di dusunku terus berjalan. Semua warganya beraktifitas seperti sebelumnya, terus seperti itu. Kalau ada yang berubah itu adalah adanya sebuah HP di genggaman tangan Ma*tini. Saya pastikan dia akan bingung, tidak ada karakter sandi rumput disana. Yang dia tahu hanya cekrak - cekrek memanfaatkan fiture camera. Adakah nomorku tersimpan di memory chartnya ? Only she knows ! Kalau iya, tentunya dia sudah mengirimiku SMS, MMS atau sekedar misscall. Atau tidak ada pulsa ? Hiyaa... kok malah sibuk berhayal. Yang paling mungkin, si retardasi mental tidak mengenal telkomsel atau indosat. Itu tidak melanggar undang- undang apapun!

Tahun 2013 ibu Ma*tini meninggal dunia. Kini Ma*tini tinggal bersama kakaknya yang nomor tiga.

Penyandang retardasi mental memang tidak harus dijauhi. Tapi kalau kita keliru memposisikan diri, kita akan "kerepotan" sendiri.

.... Tamat ....





Cerita yang lain, klik di sini

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Tulisan favorite saya..seperti beneran..atau memang ini beneran kisahnya?😃