Senin, 11 Juni 2012

Ujian Nasional untuk Prestasi atau prestise

Oleh: Imam Bukhori, M.Pd

Ujian Nasional (UN) sejak digulirkan tahun 2004 selalu menuai pro dan kontra. Menimbulkan kontra bukan saja karena landasan filosofisnya yang dipandang kurang kuat oleh sebagian orang, tapi juga pelaksanaannya. Secara konseptual Ujian Nasional bagus. Namun ternyata dalam implementasinya banyak masalah dan menimbulkan masalah baru. Misalnya masalah kecurangan, kelulusan yang direkayasa dan masalah psikologis peserta didik yang takut, khawatir, stress dan lain-lain. Tidak kalah seriusnya adalah masalah munculnya pikiran dan tindakan instan dari para pejabat kependidikan, kepala sekolah bahkan guru dalam rangka menggenjot angka kelulusan peserta didik. Dari sisi inilah Ujian Nasional yang sebenarnya secara konseptual bagus, namun menjadi tercederai oleh karena sikap tersebut di atas.

 Ujian Nasional adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sebuah hal yang wajar, setiap proses pembelajaran harus diukur pencapaiannya, untuk distandarkan dalam rangka menjaga kualitas dan mutu keluaran peserta didik. Dengan demikian kompetensi peserta didik yang diukur akan sama untuk nasional, mulai dari peserta didik yang ada di kota-kota besar hingga peserta didik yang ada di daerah-daerah terpencil dan di pelosok-pelosok desa. Hal ini tidaklah menjadi masalah, karena diknas dengan KTSP-nya menerapkan prinsip sama dalam tujuan namun beragam dalam cara. SK/ KD boleh sama secara nasional namun cara untuk mencapaiannya dapat berbeda-beda menurut perbedaan kebutuan daerah dalam ruang dan waktu.
Ujian Nasional menurut Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pasal 66 bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran yang ditentukan dari kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan. Sedangkan menurut pasal 68 menyatakan bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: 1). penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan, 2). seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, 3). pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan, 4). akreditasi satuan pendidikan, 5). pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Dalam pasal tersebut tersirat bahwa tujuan ujian nasional ujung-ujungnya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pencapaian mutu tersebut diawali dengan pencapaian mutu lulusan yang diuji dan distandarkan secara nasional melalui ujian nasional. Dengan adanya ujian nasional ini diharapkan peserta didik terpacu dan termotivasi untuk belajar dan berproses secara alami dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Semua proses tersebut mestinya dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang apabila sungguh-sungguh dilakukan dengan benar maka otomatis akan mencapai kelulusan yang ditetapkan oleh pemerintah. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan ujian nasional jika semua fihak berfikir pada kualitas proses secara wajar.
Dari segi pelaksanaan ujian nasional diatur dan diawasi secara sangat ketat. Hal ini dilakukan untuk menjamin tidak adanya kecurangan, ketidakjujuran. Ujian nasional dikesankan tidak main-main. Ia dilaksanakan dengan sangat serius, sehingga terkesan sangat mencekam. Dengan demikian diharapkan hasilnya benar-benar mencerminkan kompetensi peserta didik yang sebenar-benarnya. Selanjutnya dari hasil ujian inilah kementrian pendidkan nasional akan membuat pemetaan terhadap mutu satuan pendidikan dan atau mutu program pendidikan. Dengan demikian pemberian bantuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada satuan pendidikan tidak salah sasaran. Dari sisi ini sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan tentang hasil ujian nasional yang rendah yang didapat oleh satuan pendidikan. Toh pada akhirnya satuan pendidikan yang bersangkutan akan mendapatkan setidaknya bantuan baik berupa pembinaan maupun bantuan anggaran dana untuk perbaikan mutu pendidikan. Sehingga tidak perlu terjadi kecurangan dalam ujian.
Namun demikian adanya ujian nasional yang tujuannya sebenarnya baik itu, disalah fahami oleh para pejabat kependidikan, maupun kepala sekolah. Para pejabat di daerah, mulai gubernur, bupati akan merasa sangat terpukul apabila peserta didik di wilayahnya tidak lulus. Sebab ini adalah urusan harga diri daerah ataupun sekolah. Karena itulah kemudian para gubernur menekan kepada bupati untuk menggenjot angka kelulusan. Sedangkan para Bupati menekan para kepala dinas pendidikan. Selanjutnya kepala dinas pun menekan kepala sekolah dan kepala sekola menekan guru-guru terutama guru yang mengajar mata pelajaran yang diujinasionalkan.
Akhirnya yang menjadi pertimbangan para kepala sekolah dan guru-gurunya tidak lagi memikirkan bagaimana mutu proses pendidikannya, namun yang difikirkan adalah bagaimana menggenjot peserta didik agar lulus seratus presen. Bukan lagi mutu proses yang dikejar, namun nilai ujian nasional yang diutamakan. Hal ini semata-mata dilakukan untuk meningkatkan gengsi sekolah, yang selanjutnya akan meningkatkan gengsi daerah dan kepala daerahnya. Dengan demikian ujian nasional oleh para pejabat di bawah bukan lagi dijadikan alat dan sarana untuk meningkatkan prestasi peserta didik, namun dipakai untuk sarana mencapai prestisi baik ditingkat satuan pendidikan, daerah maupun nasional.
Mestinya ujian nasional harus dijadikan sarana untuk meningkatkan prestasi peserta didik. Dengan prestasi peserta didik yang baik mencerminkan mutu pendidikan. Untuk mencapai mutu pendidkan dan prestasi peserta didik yang baik harus ditempuh secara wajar. Yaitu dengan meningkatkan mutu proses pembelajaran dalam kelas dan mutu program di satuan pendidikan. Di sinilah perlunya penerapan standar proses pendidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh permen diknas nomor 41 tahun 2007.
Sebaliknya yang terjadi adalah bahwa untuk mencapai kelulusan 100% sekolah mengadakan berbagai jenis program. Ada sekolah menamai program pendalaman materi, program bimbingan belajar, dan program sukses ujian nasional. Semua jenis program tersebut hampir seleluruhnya diarahkan bagaimana peserta didik dapat "menaklukkan" soal-soal ujian nasional yang akan diujikan. Bahkan tragisnya ada sekolah yang tidak percaya lagi kepada guru-gurunya. Sekolah inipun akhirnya menyewa lembaga bimbingan belajar eksternal untuk secara khusus mengajari peserta didik di sekolah bagaimana trik-trik mengerjakan soal.
Sebagian sekolah ada yang sejak awal semester akhir tidak lagi mengajarkan materi mata pelajaran apapun kecuali mata pelajaran yang diuji nasionalkan. Semua energy sekolah hampir habis difokuskan untuk mensukseskan hasil ujian nasional. Sungguh ini sangat disayangkan. Bagaimana mungkin, proses pendidikan dan pembelajaran yang menurut amanat undang-undang SISDIKNAS bertujuan agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab itu, lantas direduksi secara tajam dalam pelaksanaannya hanya sekedar untuk dapat mengerjakan dan "menaklukkan" soal-soal ujian nasional.
Seharusnya proses pendidikan pada satuan pendidikan mengusahakan bagaimana potensi peseta didik dapat berkembang optimal menjadi prestasi, baik prestasi akademik peserta didik maupun prestasi non akademiknya. Sedangkan untuk mencapai itu memerlukan proses yang baik, kontinyu, terpadu dan ditangani secara serius serta wajar, tanpa dibuat-buat tampak seperti baik.
Ada bebarapa langkah yang perlu diusahakan untuk mengembalikan fungsi ujian nasional yang sebenarnya. Agar ujian nasional benar-benar dapat dijadikan sebagai instrument untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik maka perlu dilakukan upaya-upaya sebagai berikut; 1). Yakinkan kepada semua fihak bahwa ujian nasional adalah sebuah proses yang wajar, sebagai konsekwensi logis dari sebuah proses pembelajaran yang harus diukur keberhasilannya yang distandarkan secara nasional. Ujian nasional bukanlah satu-satunya penentu kelulusan, disamping untuk pemetaan. Bagaimana jadinya jika suatu proses pendidikan tidak distandarkan minimal secara nasional, maka akan terjadi penentuan semaunya sendiri oleh satuan pendidikan tanpa kontrol, akibatnya adalah mutu pendidikan menjadi korban. 2). Sejak dini biasakan proses penilaian baik oleh pendidik maupun oleh satuan pendidikan yang taat azas. Terapkan sinstem yang memungkinkan terjaminnya kejujuran, sportif, tidak adanya kecurangan, contekan dan sebagainya, sehingga peserta didik menjadi sangat terbiasa menghadapi proses ujian yang diatur sangat ketat dan serius. 3). Fokuskan pada perbaikan mutu proses pembelajaran, seseuai atau bahkan melampaui standar proses yang ditentukan pemerintah. Proses pembelajaran yang bermutu akan menghasilkan hasil yang bermutu, dan pada gilirannya akan menghasilkan peserta didik yang siap "menaklukkan" soal-soal ujian nasional. Bukankan soal-soal tersebut tidak pernah keluar dari SKL yang ditentukan? 4). Fasilitasi semua kebutuhan sarana, prasarana dan pembiayaan untuk perbaikan proses pada satuan pendidikan. Gunakan anggaran pembiayaan sebesar-besarnya untuk perbaikan proses pembelajaran. Baik biaya yang berupa uang maupun yang berupa hal yang bisa diuangkan, 5). Bangun komitmen pada steakholders pendidikan untuk memenuhi delapan standar nasional pendidikan bahkan melampaunya. Sumber daya yang melimpah tanpa adanya komitmen kuat maka tidak akan banyak hasil guna.
Jadi inti dari penyelesaian masalah ini adalah kembali kepada hakikat tujuan proses pmebelajaran dan pendidikan. Yaitu mengembangkan potensi peserta didik dan mewujudkannya menjadi prestasi, tidak sekedar prestasi akademik tapi juga non akademik yang berupa penguasaan kompetensi serta keterampilan hudup yang diperlukan untuk menghadapi kehidupannya di masa mendatang.
Wallahu A'lam Bisshawab
Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta.
Ma'arif Online.

Tidak ada komentar: